Jumat, 20 Maret 2009

For Some One

Diposting oleh Ivan Istyawan

Ditulis Pada : Sabtu,21 Maret 2009

Siang ini,saya berada disebuah warnet yang terletak dipersimpanagan jalan kebomas.Siang yang begitu terik ini dengan udara yang amat kering, saya telah bertengger di warnet ini sejak 2 jam lalu.
Tibab2 teringat pada sosok yang terbiasa kujuluki Bidadari Surga. Mentari Pagi juag julukan khas tuk dirinya.Bulan maret ini,seingatku adalah bulan spesial tuk dirinya.Sebagaimana beberapa waktu silam, aku ucapkan met milad. tak terasa sudah waktu cepat berlalu dan engkau kian tumbuh menjadi gadis anggung yang tentunya menjadi berkah tersendiri bagi mereka yang berhasil bersanding dengan dirimu dipelaminan.
Pada Mentari yang menjadi salah satu sumber spirit hidupku,aku sampaikan beberapa hal sebagai ucapan tulusku dibulan spesialmu ini.

Banyak kenangan inidah yang telah kita jalani bersama, tanpa sebuah rekayasa dan tanpa sebuah basa-basi.Ketulusan dan ketulusan telah sama-sama kita jalani.Beberapa hari yang ku lalui tanpamu,membuat hidup ini sepi dan senyap.
Pada bulan istimewa untuk menteri aku sampaikan beberapa hal: Bersabarlah tuk tunggu rencana yang telah tercangkan 5 tahun mendatang.Berdoa'alah agar Allah menguatkan jiwa raga kita hingga kita dipertemukannya dalam saat-saat yang paling menggembirakan dimana seluruh perasaan akan bercampur menjadi satu.
Aaku akan terus berjuang tuk wujudkan seluruh mimpi2 yang sempat tercecer dan terbengalai.yakinlah bahwa tak ada ujian yang tak dapat dilalui dan tak ada masalah kecuali beserta jalan keluar.
Buanglah gelisah pada segenap jiwa dan raga kita semua yang telah kita alami dan jalani bersama adalah atas kehendak dan Rihda Allah(semoga-Amien)
"Allah bersama dengan prasangka kita,maka ber baik sangkalah pada-Nya,sebab tak ada pelindung dan penolong terbaik selain Allah".

Habis Gelap Terbitlah Terang,
Seusai Hujan Muncul sang pelangi
buah dari kesabaran adalah ketulusan
dan akhir dari derita adalah kebahagiaan
Insya'Allah kitakan segera bertemu

Selengkapnya...

Data Diri

Diposting oleh Ivan Istyawan

Salam Kenal Tuk Rekan Blogger sekalian,setelah sekian lama tak On Air di dunia maya kinai Ivan Istyawan Telah muncul kembali.Dalam kemunculan saya kali ini, izinkan saya memperkenalkan diri secara detail melalui riwayat kehidupanku sebagai manusia biasa yang sedang mencobab menjajaki kehidupan.

Daftar Riwayat Hidup

1. Nama lengkap : Ivan Istyawan
2. Tempat, tanggal lahir : Gresik, 17 November 1987
3. Jenis kelamin : Pria
4. Agama : Islam
5. Status Pernikahan : Belum Menikah
6. Moto Hidup : Kebaikan dan kebenaran harus senantiasa dicari
tannpa henti, tidak diterima secara buta.
7. Contact Person : 031-78154375
: Ivan_istyawan@yahoo.com (E-mail)
: Ivan-istyawan.blogspot.com (Web Blog)
8. Alamat : Jl. M. Thoyib Merta Kusuma Blok M 1
Perum Bukit Randu Agung Indah,
Gresik-Kode Pos 61121

9. Riwayat Pendidikan
: SDN Randu Agung III Kebomas (Lulus Th.2000)
: SLTPN 1 Gresik (Lulus Th.2003)
: SMA Muhammadiyah 1 Gresik (Lulus Th.2006)

10. Pengalaman Kursus / Diklat : Kursus B. Inggris
(Penyelenggara Iqbal English Club)
Pelatihan Taruna Melati I
(Penyelenggara PR IPM SMA Muh I Gresik)
Pelatihan Sadar Gender Se-Kab Gresik
(Penyelenggara Koalisi Perempuan Gresik)
Pemateri Pelatihan Taruna Melati II
(Penyelenggara PD IPM Kab. Malang)
TOT Nasional Pendamping Pers Sekolah
( Penyelenggara PP IPM)
Melati Muda PW Pemuda Muh. Jatim
(Penyelenggara PW Pemuda Muh. Jatim)
Pelatihan Instruktur
(Penyelenggara PW Muhammadiyah Jatim)

11. Riwayat Organisasi : 1. Ketua II PR IPM SMA Muh I Gresik
2. Ketua Perkaderan PR IPM SMA Muh I Gresik
3. Ketua Hikmah Advokasi PD IPM Kab. Gresik
4. Ketua Hikmah Advokasi PW IPM Jawa Timur
5.Admin Blog PW IRM Jatim
6. Ketua Presidium Sidang Muktamar IRM Ke 16
12. Pengalaman Kerja : Humas & Marketing PT java Pustaka Group, Sby
Demikian Daftar Riwayat Hidup Ini saya buat berdasarkan data yang sebenar-benarnya dan digunakan sebagaimana mestinya.
Gresik, 21 Maret 2009




Ivan Istyawan




Selengkapnya...

AHMAD DAHLAN, PROTOTIPE MUSLIM CALVINIS

Diposting oleh Ivan Istyawan

Beberapa poin penting dalam tulisan ini sudah dimuat untuk edisi Bentara Kompas, edisi 1 Juni 2005, tentang Etika Protestan Muslim Puritan: Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam model Protestan. Beberapa poin penting yang perlu ditambahkan sebagai usaha berkelanjutan untuk melanjutkan program reformasi Islam yang digagas sejak awal oleh kyai reformis kita, Ahmad Dahlan.
Tulisan ini ingin dimulai dengan analisis Clifford Geertz, yang memberikan respon konstruktif dan menyenangkan melalui email pribadi ke Raden “Bill” Liddle, terhadap naskah penulis “The Protestant Ethic among Muslim Puritans” (segera terbit di Jurnal akademis-Internasional, Islam and Christian-Muslim Relations terbitan Georgetown University dan Routledge, London). Geertz dikenal luas sebagai “Duta Besar” untuk studi antropologi. Konon, Geertz termasuk papan atas, jika bukan yang teratas, untuk ranking antropolog di Amerika. Ia sangat disegani. Risetnya laris manis menjadi referensi di sana-sini: terasa kurang absah studi antropologi, apalagi dengan Indonesia sebagai pilihan objek studi, tanpa menyertakan nama Geertz dalam catatan kakinya. Demikianlah yang kita lihat studi Indonesia paska-Geertz, hampir tak lupa menyebut namanya.

Sejak Mei 1953 sampai September 1954, Geertz mengadakan riset lapangan di Modjokuto. Ini bagian dari proyek kerjasama bersama enam antropolog dan seorang sosiolog atas sponsor the Center of International Studies of the Maachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge. Proyek riset Geertz bersama ilmuwan masyhur ini dikemas di bawah tema besar: Religious Belief and Economic Behavior in a Central Javanese Town: Some Preliminary Considerations, diterbitkan pertama kali dalam Jurnal Economic Development and Cultural Change, Vol. 4, No. 2, bulan Januari tahun 1956. Geertz ingin menunjukkan adanya dan terjadinya relasi antara keyakinan keagamaan dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim Mojokuto.

Tesis Geertz ini langsung mengingatkan penulis pada tesis Max Weber tentang terjadinya “afinitas elektif” antara keyakinan keagamaan di kalangan Protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte Baptis) dan spirit kapitalisme rasional-modern di Barat. Geertz memang dibayang-bayangi tesis Weber. Ia langsung memulai laporan risetnya dengan kalimat: “sejak [publikasi] sosiologi-agama Max Weber, ketertarikan pada hubungan antara komitmen keagamaan dan perilaku ekonomi menjadi tema penting, baik dalam sejarah ekonomi maupun sosiologi agama.”[1] Dengan tingkat varian pengaruh yang berbeda-beda, sarjana terkemuka di Amerika seperti Robert N. Bellah, S.J. Tambiah, Talcot Parsons, James L. Peacock, dan Geertz sendiri terinspirasi oleh tesis Weber.

Tampak sekali bahwa Geertz di-driven oleh tesis Weber untuk melihat hubungan antara keyakinan keagamaan dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim Mojokuto. Ia lalu datang ke Mojokuto. Sebagaimana Weber dalam the Protestant Ethic, (1904-1905), menjadikan reformasi Protestan, terutama pada varian Calvinisme, sebagai pintu masuk dalam melihat hubungan antara Protestan asketis dan spirit kapiralisme rasional-modern di Barat, pikiran Geertz pun sudah ter-set up reformisme Islam untuk melihat hubungan antara Muslim reformis dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim Mojokuto. Dan Geertz hadir dengan kesimpulan yang menarik: “reformisme/modernisme Islam dan pembangunan ekonomi berjalan secara beriringan.” Suatu kesimpulan yang mirip antara munculnya spirit kapitalisme dan Reformasi Protestan di kalangan Calvinis.

Dalam Peddlers and Princes, (1963), Geertz mulai memperlebar studinya melalui perbandingan dua kota: Mojokuto di Jawa Timur dan Tabanan di Bali. Ia lagi-lagi dibayangi tesis Weber. “Dalam kerangka teori Max Weber tentang peran Protestanisme dalam menstimulasi pertumbuhan komunitas bisnis di Barat,” demikian laporan Geertz (1963:49), “bahwasanya para pemimpin komunitas bisnis di Mojokuto adalah sebagian besar Muslim reformis.” Ia memang menemukan sebagian besar pemimpin usaha bisnis tekstil, tembakau, serta sejumlah toko dan perusahaan justru didominasi Muslim reformis-puritan. “Tujuh dari pertokoan modern yang berdiri kokoh di Mojokuto,” lanjut Geertz, “enam di antaranya dijalankan oleh Muslim reformis-puritan.” Ia lalu berkesimpulan bahwa “Reformisme Islam, dalam bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin majoritas para saudagar” (Geertz, 1963:150).

Term santri memang menjadi kata kunci dan pahlawan dalam studi Geertz. Namun, Geertz terlebih dahulu membedakan antara santri reformis-modernis dan santri ortodox-tradisionalis. Pada diri santri reformis-modernis itulah terkait dengan tradisi enterpreneurship. Dan Geertz pun tampak secara eksplisit merujuk Muhammadiyah sebagai prototipe santri-reformis. Pada zamannya, Muhammadiyah memang tampil sempurna menjadi organisasi modernis-reformis yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan tahun 1912. Studi para sarjana, baik dalam maupun luar negeri, hampir sepakat meletakkan Muhammadiyah sebagai tipikal organisasi modern-reformis di Indonesia. Dan muslim reformis-modernis di Muhammadiyah, seperti diamati secara baik oleh Geertz, memang punya kaitan langsung dengan tradisi enterpreneurship.

“Selama 600 tahun,” demikian kata antropolog masyhur lainnya di Amerika, James L. Peacock (1978:194), “perdagangan dan Islam telah tersatukan di Asia Tenggara; dan selama 75 tahun, perdagangan dan reformisme [Islam].” Pandangan antropolog Peacock di Universitas North Carolina, Chapel Hill, ini memang semakin mengukuhkan tesis terjadinya hubungan antara spirit enterpreneurship dan Muslim reformis-puritan di Indonesia, kawasan negeri terbesar di Asia Tenggara. Muhammadiyah menjadi pilar utama reformisme Islam di Indonesia yang punya kaitan langsung dengan tradisi enterpreneurship.

Jika penulis mengikuti tesis Geertz dan Peacock, maka tampak sekali karakteristik utama Muhammadiyah yang distingtif dengan varian abangan di Jawa. Sementara abangan, baik di kalangan Petani maupun elite priyayi, kurang individualis dan lebih hirarkis; Muslim reformis-modernis Muhammadiyah cenderung individualis, puritan, egaliter, asketis, rasional, dan punya kaitan langsung dengan tradisi enterpreneurship.

Dalam surveinya di Yogyakarta, Peacock (1978) membuktikan kecenderungan Muslim reformis-puritan Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan lebih rasional, disiplin diri, dan berorientasi pada prestasi dan pencapaian kerja. Inilah sejumlah karakteristik utama Muslim reformis-puritan Muhammadiyah, yang punya pararelisme dengan karakteristik utama Protestan asketis, terutama di kalangan Calvinis. Dalam konteks inilah, penulis ingin memposisikan Ahmad Dahlan sebagai Muslim Calvinis, yang berpikiran reformis dan beretika Calvinis.


Ahmad Dahlan sebagai Muslim Calvinis


Sebutan Ahmad Dahlan sebagai Muslim Calvinis ini sekadar ingin menunjukkan kategori secara cukup longgar bahwa Ahmad Dahlan adalah seorang Muslim par excellence, namun punya spirit reformasi dan beretika (Protestan) Calvinis.

Pertama Ahmad Dahlan, (1868-1923), pendiri Muhammadiyah itu, dikenal luas sebagai Muslim reformis-modernis yang asketis dan sekaligus punya spirit enterpreneurship. Dahlan lahir di tengah keluarga beragama dan sikap hidup asketis mewarnai hidupnya. Ia berpendidikan di sekolah Islam, rajin salat lima waktu, berpuasa Senin dan Kamis, dan naik haji ke Mekkah. Selama di Mekkah tahun 1890 dan 1903, minat keilmuan Dahlan, antara lain, pada tulisan-tulisan Muslim reformis Mesir Muhammad 'Abduh (1849-1905), seperti Risalât al-Tawhîd, al-Islâm wa al-Nasranîyah, Tafsîr Juz’ ‘Amma, dan Tafsîr al-Manâr (Solichin, 1963:6). Barangkali terinspirasi Abduh, ia pulang ke tanah air dan mendirikan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 untuk mengemban misi reformasi Islam, seperti pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunnah, purifikasi Islam, penalaran rasional, penolakan takhayul, bidah dan khurafat, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan dunia modern. Inilah serangkaian misi utama reformasi Islam Dahlan, yang sekaligus menjadi misi utama reformasi Protestan di kalangan Protestan asketik, terutama Calvinis.

Kepergian Dahlan untuk haji ke Mekkah ternyata sangat menentukan tahap penting dalam hidupnya. Meminjam tesis Geertz (1963:56), bahwasanya masyarakat Jawa yang telah menunaikan ibadah haji lebih memiliki modal dan jiwa berwirausaha ketimbang rekan-rekan mereka di pedesaan. Sesudah haji, Dahlan menjalani hidup sebagai sebuah panggilan (beruf; vocation, calling): sebagai khatib di Kraton Yogyakarta dengan gaji 7 gulden per bulan sekaligus sebagai saudagar batik. Ini memperkuat asumsi bahwa nilai simbolis haji menjadi kekuatan penggerak Dahlan menumbuhkan kebajikan dan etos kerja keras dalam aktivitas bisnis batik. Sikap asketik dan disiplin-diri dipadukan secara sistematis dalam hidupnya. Etika kerja ini telah terefleksikan dalam perilaku hidup Dahlan, yang “rajin, jujur, suka membantu” dan “luar biasa cerdas dan tekunnya” (Peacock, 1978:34).

Nilai kebajikan kerja keras dan kejujuran dalam bisnis telah mengantarkan Dahlan dalam kemiripan dengan etika Calvinis. Bahkan, pada tahun 1913, Rinkes, pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu, dengan mengejutkan menilai Dahlan sebagai prototipe warga Indonesia yang memiliki etika asketis Calvinis: “tekun, militan, dan cerdas.” Di usia senjanya, Siti Walidah, istrinya, menasihati Dahlan beristirahat. Ia jawab: “penulis harus bekerja keras sebagai upaya meletakkan batu pertama dalam gerakan mulia ini. Jika penulis terlambat atau berhenti, akibat sakit, maka tak seorang pun yang akan membangun fondasi ini. Penulis sudah merasa bahwa waktuku sudah hampir lewat, karenanya, jika penulis bekerja secepat mungkin, apa yang tersisa dapat disempurnakan oleh yang lain” (Peacock, 1978:38-9).

Dahlan memang mencerminkan salah satu etika Calvinis, yang meminjam tesis Max Weber disebut sebagai inner-worldly asceticism: suatu asketisisme dunia-sini, yang menggunakan sikap asketik untuk merubah dunia. Dunia Jawa yang cenderung magis, tradisional, dan non-rasional ingin dirubah Dahlan ke arah sikap hidup yang rasional dan berspiritkan modern dan kemajuan. Islam di tangan Dahlan menjadi progresif, rasional, dan bahkan liberal. Dan Muhammadiyah di tangan Dahlan justru menyerap sistem dan metode Barat, untuk kemudian mengisi ruhnya dari konsep Islam. Ingat, misalnya, ketika orang Kristen mendirikan HIS (Holland Inlands School) met de Bibel, maka Dahlan mengambil inspirasi untuk mendirikan HIS met de Qur’an (lihat, misalnya, Alfian, 1969:150). Sungguh suatu usaha rasional dan liberal pada zamannya. Itulah yang kita saksikan dengan Muhammadiyah awal, yang tidak hanya mendirikan Volkscholen, tetapi juga sekolah-sekolah Belanda semacam Holland Inlands School, Middlebare Uitgebreid Lager School, Algemene Middlebare School.

Rasionalisasi dan liberalisasi dalam pendidikan ini jarang dilihat sebagai usaha Dahlan pada awal-awal perjuangannya dalam membawa dan menafsirkan Islam ke arah gerakan yang progresif, modern, rasional, dan liberal. Pandangan keagamaan Dahlan sendiri, hemat penulis, cukup rasional, progresif dan liberal. Ini dapat dilihat pada usaha Dahlan mengkritik kencenderungan monopoli kebenaran yang dilakukan umat Islam pada zamannya. Klaim monopoli kebenaran, menurut Dahlan, tidaklah dibenarkan dalam Islam dan bahkan dinilai sebagai bentuk kesalahan dalam beragama, karena hal itu hanyalah bagian dari peneguhan identitas pandangan satu kelompok dengan mengabaikan pandangan lainnya (lihat, misalnya, Achmad Jainuri, 1997:106). Sebagai alternatif, Dahlan memberikan saran tentang pentingnya belajar dari kelompok yang lain, karena kebenaran yang terfragmentasi itu dapat dipetik dari kelompok yang lain. Bayangkan, betapa Dahlan menganut paham relativisme dalam mencari kebenaran agama. Salah satu murid Dahlan bernama Haanie bahkan melakukan kritik terhadap para ulama konservatif yang melarang umat Islam belajar pada Kitab-Kitab suci agama lain.

Kita harus berhutang budi pada Achmad Jainuri, Doktor Islam lulusan McGill University, Canada, (1997), yang berhasil menyingkap secara baik pandangan keagamaan Dahlan yang relatifis, rasional, dan bahkan liberal. Menurut Jainuri, Dahlan menganut pandangan keagamaan bahwasanya kebaikan dan kebenaran harus senantiasa terus dicari tanpa henti; tidak diterima secara buta. Karena, pencarian kebenaran menunjukkan adanya aktifitas dan kreatifitas dalam beragama (Jainuri, 1997:106). Terjadinya eksklusifitas dalam beragama, menurut Dahlan, karena manusia dilahirkan dalam tradisi agama dan mileu tertentu. “Muslim terlahir sebagai Muslim, Kristen terlahir sebagai Kristen, dan Yahudi terlahir sebagai Yahudi,” demikian menurut temuan Jainuri (1997) tentang studi disertasinya terhadap Dahlan. Maka, setiap kelompok yang melakukan klaim kebenaran secara sepihak, menurut Dahlan, haruslah ditolak.

Dan sebaliknya, Dahlan memberikan alternatif pemikiran untuk melakukan pencarian kebenaran secara luas dan lapang ke dalam tradisi dan agama-agama lain, melalui dialog dan pertukaran ide yang dialogis dan konstruktif. Bayangkan, betapa liberalnya Dahlan ketika menunjukkan itikad baik untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan para pemimpin Katolik dan Protestan di Yogyakarta (Jainuri, 1997:106). Hemat penulis, inilah dasar-dasar relativisme pemahaman keagamaan dan dialog antar agama yang sudah dirintis oleh Dahlan. Pendeknya, Dahlan telah meletakkan fondasi awal tentang pentingnya merelativisasikan pandangan keagamaan kita; membuka lebar-lebar kemungkinan adanya kebenaran pada pandangan keagamaan yang lain; dan karena itu, betapa pentingnya dialog antar-agama untuk saling memperkaya pengalaman dan pemahaman keagamaan masing-masing.

Kedua, dengan alasan di atas, Dahlan memang sedang berjuang membawa bendera Islam dan Muhammadiyah ke arah usaha rasionalisasi yang terus berjalan dan berkesinambungan, baik doktrin maupun perilaku hidup di dunia modern. Usaha Dahlan dalam merasionalisasikan doktrin keislaman ditempuh melalui purifikasi iman dari unsur mistik dan Islam-Jawa-Hindu. Usaha puritanisme memang acap kali lebih dekat ke arah puritanisme radikal. Namun, perlu juga diingat, bahwa radikalisasi terhadap perjuangan melawan magis dan konservatisme adalah jalan elegan membawa Islam dan umat Islam ke arah kehidupan yang rasional, modern dan progresif. Karena, sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Dan taklid sendiri harus diganti dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern. Hemat penulis, proyek rasionalisasi Islam dan umat Islam yang dirintis Dahlan merupakan proyek yang belum selesai, dan tugas kita adalah melanjutkan secara kontinu dan berkelanjutan reformasi Islam yang dirintis Dahlan ke arah Islam yang rasional, progresif dan liberal. Inilah Islam yang sesuai dengan nafas kehidupan modern.

Jika kita bandingkan dengan teologi Calvinis, maka tampak sekali adanya pararelisme. Rasionalisasi doktrin Calvinisme dapat dilihat pada upaya menghilangkan unsur magis dari dunia modern. Calvinis menunjukkan sikap anti-magis dengan memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Inilah yang oleh Weber disebut Entzauberung der Welt: yakni demagifikasi atau demistifikasi dunia. Hilangnya elemen magis yang berpuncak pada doktrin dan perilaku Calvinis ditandai, secara teoretis, dengan tidak adanya sistem Imamat, berkurangnya sakramen secara drastis, dan hilangnya sistem perantara yang memediasi hubungan Calvinis dan Tuhan. Dan Calvinis memberikan kontribusi besar terhadap lahirnya spirit kapitalisme rasional-modern di dunia Barat, terutama Eropa dan Amerika.

Ketiga, karakteristik ketiga adanya pararelisme antara Ahmad Dahlan dengan etika Calvinis terletak pada doktrin predestinasi. Dalam teologi Calvinis, ada yang disebut predestinasi ganda: yang membuat para Calvinis tidak tahu secara pasti apakah mereka termasuk orang terpilih atau terkutuk? Karena Tuhan Calvinis adalah begitu transenden, maka mereka menghadapi masalah serius tentang ketidakpastian keagamaan. Situasi ini memaksa para Calvinis mencari certitudo salutis, yang didefinisikan Weber (1978:1198-99) sebagai suatu indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu, sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan diyakini sebagai “tanda” atau “konfirmasi” bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih, atau dalam istilah Weber “suatu tanda keberkahan Tuhan”.

Barangkali, kita akan kaget jika ternyata Dahlan juga mengalami apa yang disebut dengan predestinasi ganda dalam Calvinis. A.J. Anies, salah seorang muridnya, mengungkapkan kutipan langsung dari Dahlan dalam Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan karya R.A. Hadjid sebagai berikut: “Kita umat manusia diberi kepercayaan hanya ketika kita masih hidup di dunia ini. Setelah engkau meninggal, apakah kamu akan selamat atau terkutuk?” (dikutip dari James L. Peacock, 1978:38-39).

Sebagai tambahan, tulisan yang ditempel di meja Dahlan, juga menandakan adanya predestinasi ganda yang mirip dalam teologi Calvinis: “Hai Dahlan, sesungguhnya rasa takut itu lebih mengagumkan (dibanding yang dapat engkau bayangkan), dan hal-hal yang menakutkan menunggumu. Tidak ada jalan keluar bagimu; engkau harus melihat hal-hal ini sebagai sesuatu yang selamat atau rasa sakit yang menyiksa. Bersujudlah di hadapan Tuhan karena engkau menghadapi kematian, yang akan disusul berdiri di hadapan Tuhan saat hisab terakhir: apakah akan menuju surga ataukah neraka” (lihat, Alwi Shihab, 1995). Pesan-pesan Dahlan ini mengingatkan kita pada kemiripan dengan doktrin predestinasi ganda dalam teologi Calvinis. Doktrin predestinasi ganda dalam Muhammadiyah dan Calvinis berhasil melahirkan sikap hidup yang rasional, nilai borjuis yang selaras dengan kehidupan modern, dan etos kerja yang produktif.

Hal itu sudah ditunjukkan adanya korelasi positif antara tingginya angka Muslim puritan Muhammadiyah dan keterlibatan ekonomi secara aktif pada usaha pabrik Batik di Yogyakarta. Yogyakarta perlu dingat karena kota kelahiran Muhammadiyah dan Dahlan, yang meniti karir sebagai khatib asketis dan saudagar batik. Hawkins (1961:12-52) menggelar survei terhadap perusahaan batik tahun 1960 dengan kesimpulan yang mengejutkan: semua perusahaan batik di Yogyakarta mayoritas dimiliki dan dijalankan oleh Muslim puritan Muhammadiyah. Karena itulah, Muslim reformis-puritan Muhammadiyah digambarkan, meminjam tesis W.F. Wertheim (1969:212), sebagai “saudagar urban pada tahun-tahun awal abad sekarang”. Mereka ini sering pula disebut Muslim borjuis. Seperti Calvinis, etika kerja dan sikap Muslim asketis mengindikasikan model etika kaum borjuis yang individualis dan rasional. “Seorang Muhammadiyah,” kata W.F. Wertheim, “didorong ke arah hidup sederhana dan etos kerja yang saleh-asketis, dengan harta kekayaan yang diperolehnya sendiri.” Mereka menjadi Muslim puritan yang asketis dengan mengabdikan dirinya secara rajin dan jujur pada aktivitas bisnis dan sosial-keagamaan sekaligus.


Penutup


Dengan penuh kerendahan hati, inilah kontribusi pemikiran sederhana penulis sebagai usaha melanjutkan cita-cita reformasi Islam yang telah dirintas oleh Ahmad Dahlan tercinta. Kepribadian Dahlan beserta pemikiran reformasi keislamannya selalu terbuka untuk ditafsirkan. Dan penulis ingin merintis ke arah penafsiran Dahlan yang lebih rasional, progresif dan liberal, sebagai usaha mematangkan Islam dan umat Islam ke arah kehidupan modern yang demokratis.

Tentu, penulis sepenuhnya sadar bahwa puritanisme Muhammadiyah belakangan ini telah mengarah dan ditarik ke arah “puritanisme yang radikal.” Namun, kita juga harus berpikiran terbuka dan berjiwa lapang bahwa Muhammadiyah tidaklah tunggal dan univocal; melainkan plural dan multi-vocal. Karena itu, posisi Muhammadiyah dan para pemimpinnya harus mampu mengayomi spektrum pemikiran yang beragam, mulai dari radikal sampai yang liberal. Jangan sampai terjadi represi satu kelompok atas kelompok lain. Sebaliknya, jangan sampai pula terjadi pemanjaan satu kelompok atas kelompok yang lain. Posisi yang tepat bagi Muhammadiyah dan para pemimpinnya adalah menjadi “payung” dan “tenda” bersama terhadap keragaman dan pluralisme pemikiran. Keragamaan dan perbedaan harus senantiasa dikelola secara demokratis. Keberhasilan Muhammadiyah mengelola dinamika pluralisme internal ini akan mengantarkan Muhammadiyah menjadi pilar utama masyarakat sipil yang demokratis. Selamat bermuktamar ke-45 di Malang, semoga kita senantiasa berlomba secara fair dalam kebajikan. Inilah moto perjuangan kita: fastabiqul khairât.

Oleh :
SUKIDI
(SUKIDI, Pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] Muhammadiyah; dan Mahasiswa Teologi di Harvard Divinity School, Harvard University, Cambridge, Amerika; email: sukidioslo@yahoo.com).
SELECTED BIBLIOGRAPHY

Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1971.


Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago: The University of Chicago Press, 1988.


Chalcraft, David, and Austin Harrington (eds.), The Protestant Ethic Debate, Liverpool” Liverpool University Press, 2001.


Fullerton, Kemper, “Calvinism and Capitalism,” The Harvard Theological Review, XXI, (1928): p. 163-191


Gerth, H.H., and C. Wright Mills (eds.), From Max Weber: Essays in Sociology, New York: Oxford University Press, 1958.


Geertz, Clifford, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1971.


_____, Peddlers and Princes: Social Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns, Chicago: The University of Chicago Press, 1963.


_____, “Religious Belief and Economic Behavior in a Central Javanese Town: Some Preliminary Considerations,” Economic Development and Cultural Change, Vol. 4, No. 2 (Jan., 1956).


_____, The Religion of Java, Chicago: University of Chicago Press, 1976.


Hadjid, R.H., Falsafah Pelajaran Kj. H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta: Siaran, n.d.


Hodgson, Marshall G., The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume Three, The Gunpowder Empires and Modern Times, Chicago: The University of Chicago Press, 1974.


Huff, Toby E., and Wolfgang Schluchter (ed.), Max Weber & Islam, New Brunswick and London: Transaction Publishers, 1999.


Khadduri, Majid, The Islamic Conception of Justice, (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1984),


Kurzman, Charles, (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook. Oxford, New York: Oxford University Press, 1998.


_______, Modernist Islam, 1840-1940, Oxford, New York: Oxford University Press, 2002.


Nakamura, Mitsuo, The Crescent Arises Over the Banyan Tree, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983


Peacock, James L., Muslim Puritans: Reformist Psychology in Southeast Asian Islam, (California: University of California Press, 1978).


_____, Purifying the Faith: the Muhammadijah Movement in Indonesian Islam, Menlo Park, California: Benjamin/Cummings, 1978.


Ringer, Fritz, Max Weber: An Intellectual Biography, Chicago & London: The University of Chicago Press, 2004.


Salam, Solichin, K.H. Ahmad Dahlan, Reformer Islam Indonesia, Djakarta: Djajamurni, 1963.


Siegel, James T., The Rope of God, Berkeley: University of California Press, 1969.


Schluchter, Wolfgang, (ed.), Max Webers Sicht des Islams. Interpretation und Kritik, Frankfrut, Suhrkamp, 1987.


Turner, Bryan, S., Weber and Islam, London and New York: 1974, reprinted in 1998.


Weber, Max, Economy and Society, Volume 1 & 2, edited by Guenther Roth and Claus Wittich, Berkeley: University of California Press, 1978.


_____, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons, London and New York: Routledge, 2005.


_____, The Sociology of Religion, Ephraim Fischoff [translator], (Boston: Beacon Press, 1993.


Wertheim, W.F., East-West Parallels: Sociological Approaches to Modern Asia, Chicago: Quadrangle, 1965


_____, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, The Hague: W. van Hoeve, 1969.


[1]Ibid., p. 1

Selengkapnya...

Bgaimana Indonesia

Diposting oleh Ivan Istyawan

"Dikatakan bahwa seseorang belum benar-benar mengenal suatu negara,sebelum ia pernah berada dalam penjara negara itu
suatu negara jangan dinilai dari cara memperlakukan warganya yang paling tinggi. Tetapi bagaimana negara itu memperlakukan warganya yang paling rendah"
(Nelson Mandela) Selengkapnya...

Suratku Tuk SBY

Diposting oleh Ivan Istyawan

Berikut adalah salah satu surat terbuka saya mewakili pelajar Indonesia, surat ini pernah ditampilkan pada salah satu blog yang konsisten pada permasalahan bangsa yaitu
http://slamethariyanto.wordpress.com

Berikut isi surat tersebut

Wahai bapak SBY. Hari ini kita berduka, karena memimpikan kebangkitan negeri ini, tetapi tidak berani memimpikan kebangkitan pendidikan kita. Saya pesimis, mana mungkin pendidikan kita yang selama ini sangat eksklusif, penuh dengan hegemoni berbagai kepentingan dan riskan dengan berbagai permasalahan bangsa. Bahkan, pendidikan kita tidak memiliki kiblat yang jelas.
Mungkin sebagaian orang akan berapologi bahwa memang kita tidak berkiblat. Namun, sungguh saya yakin ketika pendidikan kita memiliki perwajahan yang jelas dengan kiblat yang jelas, entah itu pendidikan inklusif, pendidikan progresif atau pendidikan kritis, maka kita mungkin dapat melakukan evaluasi yang lebih jelas. Misalnya, permasalahan UAN, adalah bentuk ketidakjelasan kita, dan bentuk ketidaktuntasan kita dalam wilayah penentuan tolok ukur. Padahal sudah jelas bahwa kecerdasan siswa tidak bisa dimaterialkan dalam bentuk angka yang sangat hegemonif. Ujung dari problem UAN itu kita selalu mempunyai out put yang sangat mekanistik dan robotik, karena persiapan warga belajar sangat mekanistik dan robotik.
Atas nama Kaum Pemerhati Pendidikan Progresif Transformatif (KP3T), mari rubah iklim pendidikan kita, mimpikan dahulu kebangkitan pendidikan kita sebelum bermimpi tentang kebangkitan negeri ini.
Selengkapnya...